Kompetisi
Ketemu ponakan, ibunya cerita sang anak sedih karena tiap pembagian 'rapot' ia selalu mentok di ranking 4, padahal merasa sudah berusaha keras. Budaya kita tentang kompetisi memang sejak dini sudah tidak pada tempatnya: masuk dunia pendidikan ada peringkat kelas, akhirnya sudah dewasa beli ini-itu, posting ini-itu, kompetisi alam bawah sadar yang terbentuk sejak dini. Kalau jaman sekolah ada nyontek agar tidak malu nilai jelek. Sudah dewasa ada cicilan agar terlihat cukup. Kita dibesarkan oleh budaya untuk lebih baik dari orang lain.
Kalau saja Usain Bolt dimasa jayanya menjadikan orang lain sebagai tolak ukur, maka rekornya akan berhenti di titik dia lebih baik dari orang lain,bukan seperti sekarang yang rekornya ia pecahkan atas dirinya sendiri. Kalau saja semua atlet menargetkan juara saat saat perlombaan, maka akan banyak atlet yang pensiun seketika karena sadar ia jauh dari target. Itulah alasan kenapa target masing-masing atlet biasanya berbeda, mengukur kemampuannya sendiri. Jika target nya tercapai, maka diperlombaan berikutnya targetnya ditingkatkan. Banyak atlet yang disambut meriah dinegaranya meski dia tidak pulang membawa piala.
Melihat orang lain tetaplah perlu, layaknya kaca spion yang jadi alat bantu agar jalan kita tetap pada jalur, fokus kita tetap pada hal yang paling nampak di depan mata, sehingga sampai ditujuan akhir dengan selamat dan sesuai perhitungan.
Anak kecil itu jangan ditanya cita-cita mau jadi apa, kejauhan, jatuhnya malah jadi menghayal, tanya dulu, kalau main, permainan apa yang paling disukai, biar jadi bahan evaluasi. Anak sekecil itu mau jadi pilot, kita bisa apa? kan ga ada pendidikan pilot dari SD.
Kembali ke topik kita, bukan salah melihat orang lain yang jadi langganan ranking satu, bukan salah pula melihat orang lain sudah mencapai titik tertentu. Hanya saja, jangan jadikan itu sebagai tujuan yang menyesatkan. Tugas kita sederhana, mempelajari kesalahan di masa lalu, kemudian menciptakan target paling rasional untuk diri sendiri. Berkompetisilah dengan diri sendiri yang kemarin, semoga/sehingga kita sudah berkembang jauh jika suatu saat menengok lagi beberapa waktu kebelakang.
Mie instan saja tidak instan.
Manusia itu jadi pemimpin di muka bumi salah satunya karena punya sifat kompetitif, tapi bukan berkompetisi dengan orang lain, melainkan dengan diri sendiri yang sudah lalu. Setiap orang punya tantangan dan hambatannya masing-masing, yang tidak bisa ujug-ujug diakhir kita bandingkan hasilnya. Sebagian orang diuntungkan oleh lingkungan dan keadaan, sementara sebagian lain hal tersebut justru jadi kerugian.
Kalau saja Usain Bolt dimasa jayanya menjadikan orang lain sebagai tolak ukur, maka rekornya akan berhenti di titik dia lebih baik dari orang lain,bukan seperti sekarang yang rekornya ia pecahkan atas dirinya sendiri. Kalau saja semua atlet menargetkan juara saat saat perlombaan, maka akan banyak atlet yang pensiun seketika karena sadar ia jauh dari target. Itulah alasan kenapa target masing-masing atlet biasanya berbeda, mengukur kemampuannya sendiri. Jika target nya tercapai, maka diperlombaan berikutnya targetnya ditingkatkan. Banyak atlet yang disambut meriah dinegaranya meski dia tidak pulang membawa piala.
Melihat orang lain tetaplah perlu, layaknya kaca spion yang jadi alat bantu agar jalan kita tetap pada jalur, fokus kita tetap pada hal yang paling nampak di depan mata, sehingga sampai ditujuan akhir dengan selamat dan sesuai perhitungan.
Anak kecil itu jangan ditanya cita-cita mau jadi apa, kejauhan, jatuhnya malah jadi menghayal, tanya dulu, kalau main, permainan apa yang paling disukai, biar jadi bahan evaluasi. Anak sekecil itu mau jadi pilot, kita bisa apa? kan ga ada pendidikan pilot dari SD.
Kembali ke topik kita, bukan salah melihat orang lain yang jadi langganan ranking satu, bukan salah pula melihat orang lain sudah mencapai titik tertentu. Hanya saja, jangan jadikan itu sebagai tujuan yang menyesatkan. Tugas kita sederhana, mempelajari kesalahan di masa lalu, kemudian menciptakan target paling rasional untuk diri sendiri. Berkompetisilah dengan diri sendiri yang kemarin, semoga/sehingga kita sudah berkembang jauh jika suatu saat menengok lagi beberapa waktu kebelakang.
Mie instan saja tidak instan.
Sekadar opini, Allahu 'alam.
Komentar