Mengapa Zakat Dikenakan pada Harta yang Mengendap?

Masih ada kaitan dengan tulisan saya sebelumnya terkait investasi. Kali ini, saya akan membahas tentang kenapa syarat zakat itu harus mengendap dulu.

Tulisan ini dipicu dari sebuah reels singkat di Instagram—obrolan antara Ust. Felix Siauw dengan Raymond. Ada celetukan yang menyatakan bahwa harta yang mengendap itu harus dizakati agar ekonomi berputar. Uniknya, celetukan itu ternyata menjawab pertanyaan saya sejak lama.

Pertanyaan saya adalah: kenapa harta yang mengendap malah harus dizakati, sedangkan harta itu kalau dikurangi terus akan semakin berkurang, sementara harta yang bergerak tidak dikenai wajib zakat?

Dulu, saya mengira harta bergerak itu sebatas harta konsumtif seperti rumah, kendaraan, dan sebagainya. Kalau sebatas itu, cukup dijelaskan bahwa harta yang dikonsumsi atau digunakan menunjukkan bahwa orang tersebut tidak kelebihan harta. Artinya, sebanyak apa pun harta yang ia miliki, selama kebutuhannya besar, berarti ia tidak berlebih. Sedangkan orang yang mampu mengendapkan hartanya menunjukkan bahwa ia tidak lagi memiliki kebutuhan mendesak, sampai-sampai hartanya tidak digunakan sama sekali dalam kurun waktu tertentu.

Kemudian saya mengenal konsep investasi. Banyak orang yang sudah kaya dan memiliki kelebihan harta, alih-alih mengendapkan hartanya, mereka justru memutarnya kembali, sehingga kekayaannya semakin bertambah. Nah, karena hartanya tidak mengendap, otomatis secara hukum ia tidak terkena wajib zakat. Di sinilah saya mulai bertanya-tanya: bagaimana mungkin orang yang hartanya mengendap justru terus berkurang karena dizakati, sedangkan orang yang hartanya terus tumbuh malah tidak wajib zakat? Seperti ada logika yang terbalik.

Dulu saya menilai bahwa harta yang diinvestasikan itu menimbulkan risiko. Dengan adanya risiko, ada pula ketidakpastian, sehingga tidak dikenai wajib zakat. Meskipun alasan itu relevan, ternyata ada alasan lain yang juga cukup kuat.


Sebelum saya lanjut, mari kita berkenalan dulu dengan istilah perputaran ekonomi. Saya bukan ekonom yang paham secara detail apa yang terjadi dalam proses perputaran ekonomi, tapi saya ingin menyampaikan bahwa banyak sekali kebijakan pemerintah yang sebenarnya bertujuan agar ekonomi di dalam negara terus berputar, sepenting itu ekonomi yang terus berputar dalam suatu komunitas sampai dibuat banyak kebijakan.

Contoh: Bantuan Langsung Tunai. Dulu saya termasuk orang yang kurang setuju dengan kebijakan ini karena dianggap tidak mendidik—membiasakan masyarakat menerima hasil instan, atau malah digunakan untuk hal-hal yang tidak penting. Ternyata, tujuan utamanya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang dituju, tapi agar ekonomi berputar.

Contoh lain: saat pandemi COVID, ketika pergerakan masyarakat dibatasi, pemerintah banyak mengimbau agar tetap belanja di warung tetangga, belanja online, menunda menabung, dan sejenisnya. Tujuannya agar meskipun pergerakan fisik terhambat, ekonomi tetap mampu bertahan karena uang masih dibelanjakan.

Contoh berikutnya: judi online berbahaya bukan hanya karena efek judinya yang memang sudah sangat merusak, tapi juga karena dana hasil judi online itu larinya ke luar negeri, sehingga tidak lagi berputar di dalam negeri.

Dari contoh-contoh ini, kita mengenal pentingnya perputaran ekonomi dalam suatu komunitas. Harta, baik yang diendapkan maupun yang diputarkan dapat memicu reaksi berantai bagi ekomoni.


Kembali ke topik zakat dan kaitannya dengan investasi, maka terjawablah kenapa “harta sisa” itu harus dizakati, sedangkan “harta tumbuh” tidak wajib zakat. Jawabannya: karena perputaran ekonomi.

Harta yang mengendap tidak berputar—diam di satu tempat. Maka, agar roda ekonomi tetap bergerak, harta itu “dipaksa” untuk berputar dengan dikenai zakat sebesar 2,5%.

Sementara itu, harta yang diinvestasikan dan terus tumbuh sudah berputar dengan sendirinya. Secara sadar, orang yang berinvestasi telah menggerakkan ekonomi, bahkan jumlah harta yang ia putarkan bisa mencapai puluhan persen—jauh melampaui 2,5%. Kontribusinya terhadap komunitas sudah besar, sehingga tidak lagi dikenai kewajiban zakat atas harta itu.

Namun demikian, meskipun tidak wajib zakat, bukan berarti orang yang hartanya terus bertambah tidak memiliki jalur untuk membersihkan hartanya. Masih ada banyak jalan lain seperti infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya, meskipun hukumnya sunnah. Jumlahnya pun tidak terbatas—bisa sebanyak yang ia mampu dan ikhlas.

Apa pun jalurnya, semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang hartanya bermanfaat bagi sesama, menjadi jalan menuju surga. Aamiin.

Allahu a‘lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Melihat Password yang tersimpan di Toad For Oracle

Ibu Rumah Tangga