Bermain di Garut

Tanggal 11 Juli kemarin, dalam rangka libur sekolah, istri saya mengajak jalan-jalan ke daerah Garut. Ada perasaan yang agak aneh sebenarnya, karena Garut adalah kota yang selalu saya lewati ketika pulang ke kampung. Namun, kali ini kami memang menyengaja pergi ke Garut hanya untuk jalan-jalan. Tempat ini sering saya lewati, jadi terasa tidak asing, tapi di sisi lain tetap terasa asing juga, karena memang tidak pernah menjadi tujuan akhir sebelumnya.

Ada hal yang unik di kota ini, terutama terkait tempat mainnya—bagaimana tempat-tempat nongkrong di sini mengambil keuntungan. Awalnya saya kira hanya satu tempat saja yang memiliki SOP (Standard Operating Procedure) unik ini. Tapi setelah kami berkunjung ke tempat lain yang sejenis, ternyata caranya sama. Apa keunikannya? Mari kita bahas.

Kami berangkat pagi-pagi, sekitar pukul 06.50, dan sampai di Gulapadi Garut sekitar pukul 08.47. Di tempat ini tidak ada hal aneh. Kami memesan lengko, donat, pisang aroma, roti butter, dan es kopi susu.

Selesai sekitar pukul 10.10, kami bingung menentukan tujuan berikutnya. Mencari tempat lain terasa tanggung karena waktu salat Jumat sudah dekat, tapi langsung ke masjid juga masih terlalu awal. Sambil saya mengemudi, istri saya mencari-cari tempat sambil menganalisis berbagai kemungkinan. Akhirnya, Google Maps kami arahkan ke Balong Cafe.

Di Balong Cafe inilah alis saya mulai mengerut. Posisi kafe ini lebih tinggi daripada area parkir. Jadi, setelah memarkir mobil dan membayar biaya parkir Rp10.000 (tarif flat), kami harus menaiki anak tangga. Saya berjalan di depan, istri di belakang. Di pertengahan tangga, ada semacam saung kecil. Di sana ada seorang ibu-ibu duduk di depan meja. Saya tidak curiga apa-apa, sampai saya tiba di atas lalu menengok ke bawah—istri saya tidak ada. Ternyata ia sedang berbicara dengan ibu-ibu itu.

Saya datangi, dan ternyata istri saya sedang dimintai bayaran untuk biaya masuk, yaitu Rp20.000 per orang, total Rp40.000. Wah, baru kali ini rasanya saya masuk ke kafe biasa tapi ada biaya masuk. Sekadar informasi, Balong Cafe ini benar-benar kafe biasa, bukan tempat wisata dengan wahana. Memang ada tempat sewa kendaraan berban empat (saya tidak tahu namanya) dan juga spot foto, tapi menurut saya belum cukup layak untuk dikenai biaya masuk.

Untungnya, tiket masuk tadi bisa ditukarkan menjadi potongan harga jika kita membeli makanan atau minuman di sana. Tidak ada minimal pembelian, tetapi tidak ada pengembalian dana jika total pesanan lebih murah dari harga tiket. Jadi, sebenarnya tiket masuk itu secara tidak langsung memaksa kita membeli sesuatu di kafe itu—tidak cukup hanya duduk nongkrong dengan modal parkir saja.

Menjelang waktu salat Jumat, istri saya menunggu di kafe itu, sementara saya keluar mencari masjid terdekat.

Usai salat Jumat, sekitar pukul 13.32, kami makan siang di Bumi Upi. Waktunya pas, karena pengunjung lain sudah mulai selesai, sedangkan kami baru datang. Tempatnya cukup nyaman, bisa bersantai sambil mengisi daya ponsel. Pukul 14.53 kami melanjutkan perjalanan menuju Garland Barnville.

Pukul 15.21 kami tiba di Garland Barnville. Tempatnya mirip dengan Balong sebelumnya, dan di sini juga kami dimintai uang masuk. Sistemnya sama: tiket masuk bisa digunakan sebagai potongan harga untuk makanan atau minuman. Karena kami belum lama makan siang, spaghetti dan pizza yang kami pesan kami minta untuk dibungkus.

Pukul 17.22 kami meninggalkan Garland, lalu mengarah ke tujuan akhir: Nagara Hot Spring di kawasan Cipanas. Kami tiba di lokasi pukul 17.55.

Pukul 20.15 kami mengarah pulang dan tiba di rumah sekitar pukul 22.55.

Yang ingin saya soroti adalah bagaimana kafe-kafe seperti Balong dan Garland tadi mengharuskan pengunjung mengeluarkan uang minimal dengan nominal tertentu. Awalnya saya kira itu adalah biaya masuk, seperti ke kolam renang atau waterboom, tapi karena bisa ditukar dalam bentuk makanan, sistem ini jadi terasa seperti "memaksa" pembelian.

Saya justru penasaran—mengapa tempat-tempat ini melakukan hal seperti itu? Saya cukup yakin pemilik kafe tersebut tahu bahwa kafe-kafe di kota lain seperti Tasik atau Bandung tidak menerapkan sistem semacam ini.

Apakah karena masyarakat di Garut sering datang ke kafe tapi tidak membeli apa-apa? Saya tidak tahu karena tidak punya data. Tapi kalau mau dibilang kafenya yang aneh, saya mengalaminya di dua tempat yang berbeda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Melihat Password yang tersimpan di Toad For Oracle

Ibu Rumah Tangga